Uhuuukcukk !! Uhuuucukk!!
Tidak enak rasanya malam ini menulis dengan kondisi batuk terus menerus. Mungkin batuk ini merupakan penyakit turunan dari keluarga saya, karena buyut, eyang, dan saya memiliki penyakit yang sama. Tapi tidak apa lah, sembari menunggu malam berakhir akan ku tulis beberapa kisah tentang perjalanan seorang Bencoleng.
Jumat, 2 Mei 2014.
Tidak seperti biasanya saya mengikuti kegiatan pendakian masal yang diadakan Organisasi Pecinta Alam (OPA). Namun, kali ini pendakian masal diadakan oleh Lekmapala Fakultas Teknik UNNES yang notabene banyak orang-orang yang sudah saya kenal sehingga saya tertarik untuk mengikutinya. Gunung yang akan didaki adalah Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Bukan merupakan gunung tertinggi namun memiliki tinggat kesulitan track yang paling tinggi di Jawa Tengah. Pendakian kali ini mengambil jalur Garung, Kabupaten Wonosobo.
Tiba di basecamp Garung sekitar pukul 6 malam, para peserta pendakian langsung disuguhi teh yang telah disiapkan oleh panitia dan disusul dengan makan malam. Malam ini peserta akan menginap di basecamp terlebih dahulu dan akan melakukan pendakian pada besok hari. Menghabiskan malam dengan tidur ketika sedang berada di basecamp pendakian adalah hal yang "haram" dilakukan, karena pada malam harilah seharusnya peserta saling bercengkrama satu sama lainnnya. Berbekal kartu remi, saya beserta 4 peserta lainnya menghabiskan malam dengan bermain poker dan remi. Cara ini merupakan salah satu cara mengakrabkan satu sama lain bagi orang yang masih asing satu sama lain. Apabila mengikuti rasa senang berkumpul dengan kawan baru, mungkin permainan ini tidak akan selesai hingga pagi hari, namun hal ini tidaklah bisa saya lakukan karena saya sadar bahwa pagi harinya akan membutuhkan tenaga dan kondisi fisik yang bagus untuk melakukan perjalanan. Sekitar pukul satu pagi semua peserta sudah mulai beradu dengan matras dan selimut masing-masing.
Pukul 4 pagi peserta sudah mulai berbenah untuk melakukan perjalannya. Hari ini dimulai dengan beribadah dan sedikit melakukan peregangan otot. Sekitar pukul 5 pagi, pendakian Gunung Sumbing dimulai. Perjalanan dimulai dengan menyusuri jalan pedesaan yang tersusun dari susunan bebatuan. Jalan ini sangat khas di daerah dataran tinggi di Wonosobo. Lepas dari pedesaan, peserta disambut dengan perkebunan yang membentang luas sepanjang mata memandang. Tembakau, kubis, sawi, dan kentang merupakan tanaman yang menyambut kami di sisi dan kanan jalan setapak. Wonosobo memang terkenal sebagai gudang tembakau dan berbagai jenis macam sayuran. Diberkahi tanah yang subur, rupanya masyarakat lereng Gunung Sumbing bisa memanfaatkannya dengan sangat baik, terbukti dari suburnya tanaman yang ditanam. Setelah melewati perkebunan, sampailah di wono atau hutan, tidak sepenuhnya hutan, karena sudah jarang dijumpai pepohonan tinggi di sepanjang jalur pendakian.
this is the hunting time!!
tidak pernah dalam benakku memiliki niat "menaklukan" gunung ketika mendaki gunung, karena terlalu sombong manusia untuk berpikir bisa menaklukkan alam. Niat terbesarku ketika melakukan perjalanan ini adalah "memburu" anggrek yang ada di Gunung Sumbing. Bukan memburu dalam arti sebenarnya, karena perburuan kali ini hanya akan mengambil foto, tanpa mengambil atau pun merusaknya. Kenapa anggrek? karena mereka cantik, dan laki-laki suka sesuatu yang cantik. simpel kan? haha... Perburuan utama anggrek kali ini adalah Corybas si kerdil, karena sangat penasaran untuk bisa berkenalan dengannya.
Perjalanan pun menjadi perjalanan "dzikir" karena selama perjalanan kepala saya tidak berhenti menengok kanan kiri sisi jalur untuk mencari si cantik yang liar. Karena hal ini pun, sempat saya terpeleset hingga jatuh duduk. Namun ternyata, Tuhan sedang melakukan kekuasaanya, tepat didepan saya terjatuh ada si nona asli jawa, Anggrek Kantong atau Paphiopedilum javanicum. Namun ternyata si nona masih tersipu malu untuk berkenalan lebih jauh dengan saya karena anggrek ini masih kuncup dan mungkin akan mekar sempurna satu hingga dua minggu lagi. lalluuu pergumulan antar dua insan dari beda dunia pun terjadi,, ceepreet, cepreeet ceeepreeet,, dan ceeepreeeet... ku lumat si nona dengan kamera bulukku yang masih bisa diandalkan, nikon D3000. Sedikit deskripsi, secara sepintas anggrek ini menyerupai tanaman Lidah mertua dengan daun yang tebal, berwarna hijau loreng-loreng dan yang mencuat dari dalam tanah. Tangkai bunga keluar dari tengah-tengah pangkal daun dengan panjang tangkai daun mencapai 20-30cm. Ketika bunga ini mekar, akan ada bagian dari bunga ini yang menyerupai kantong, sehingga disebut Anggrek Kantong. Jenis ini merupakan endemik Jawa.
Setelah selesai menggumulinya, saya meninggalkan si nona tanpa tersentuh dan tidak lupa memanjatkan doa agar nona terlepas dari mata pemburu anggrek sebernarnya, karena posisinya sangat rawan sekali untuk dapat diculik oleh tangan-tangan tidak bertanggungjawab.
![]() |
| Paphiopedillum javanicum |



0 comments:
Post a Comment