Setelah sekian lama vakum dari dunia bloging. Terasa kaku juga ketika lama tidak menulis artikel, agak sedikit bingung bagaimana seharusnya menulis artikel. Tapi lupakan, yang pasti kali ini saya akan mengalihkan rasa bosan saya ke dalam sebuah tulisan.

Seperti yang telah terpampang di profil, saya merupakan seorang cowok (kalau tidak percaya silahkan dibuktikan), yang saat ini sedang berada di tanah rantau, Semarang, sampai waktu yang tidak ditentukan. Kuliah? Bukan tentunya, karena saya sudah lulus sejak dua tahun lalu. Kerja? Ehmmm,,, enggak juga, karena dibilang kerja pun saat ini saya belum menemukan penghasilan tetap. Sebut saja saya sedang masa pelarian, lari dari pertanyaan orang rumah tentang "kapan kerja, dan kapan menikah". Setidaknya di Semarang pertanyaan itu jarang terdengar. 

Berada di tanah rantau bukanlah hal baru bagi saya, karena di Semarag pun saya sudah 7 tahun lamanya. Selama 7 tahun pula Semarang banyak memberikan pengalaman dan pelajaran bagi saya. Namun dari sekian banyak pengalaman dan pelajaran, satu pelajaran yang hingga saat ini saya belum bisa paham, MEMASAK. Hal menurut orang sangat sederhanya, sesederhana "tinggal tambahkan garam dan gula", namun ketika saya melakukkannya justru masakan saya hanya dicap sebagai masakan ORALIT. Hahahaha...... 

Saya sering berada di dapur walau pun hanya sekedar menggangu Ibu memasak atau hanya sekedar mencicicipi masakan yang sedang dibuat, namun hal itu tidak lantas membuat saya bisa memasak. Akirnya sampai saat ini saya menyerah untuk memasak menu makanan yang rumit, cukup telur ceplok saja, maksimal saya modifikasi sedikit dikocok lalu ditambahkan cabai. Pencapaian paling besar saya di bidang kuliner. 

Sekitar 1 minggu yang lalu saya diundang teman saya ke rumahnya untuk makan malam. Memang teman saya yang satu ini sangat pengertian kepada temanya yang fakir makan dan fakir perhatian. Tiba di rumahnya masakan mewah khas warung makan sudah tersedia, Soto, Kare, dan Rendang. Dalam hati saya pasti teman saya mengeluarkan modal banyak untuk membeli makanan jadi semewah ini. Namun ternyata saya salah, teman saya bukan membeli makanan yang sudah siap santap, melainkan memasak masakan itu semua sendiri. Sangaaat tidak percaya, karena yang saya tahu kemampuan masaknya tidak jauh beda diatas saya, bedanya dia bisa masak telor ceplok ditambah kubis untuk dijadikan semacam bakwan. Lantas, kebohongan macam apa yang ia katakan dengan mengatakan kalau makanannya dibuat sendiri. Senyam-senyum dia enggan membalas pertanyaan saya, namun akhirnya keluar juga jiwa embernya yang tidak bisa menyimpan rahasia. Kemampuan masaknya yang didapatkan dalam sekejap itu rupanya mendapat bantuan dari Dukun, bukan dukun dalam arti sebenarnya yang tukang sembur air ke muka orang, melainkan Dukun Masak. Merupakan bumbu siap pakai untuk beberapa varian masakan, seperti Soto, Kare, dan Rendang. Memang pantas bumbu itu dinamai Dukun Masak, karena bisa merubah teman saya yang tidak bisa memasak menjadi ahli masakan dalam satu taburan.



Masjid Menara Semarang - Jumat, 21 Mei 2016

Panas, panas, panas, badan ini pusing, pusing, pusing, ooooohh..

Haduuh hari ini Semarang panas lebih dari biasanya, ya mungkin hal ini dikarenkan saya keluar ketika jam 12 siang. Tidak rekomended lah keluar ketika jam 12 siang di Semarang. Pusing, yaa pusing, keluar siang bolong untuk menginterview UKM makanan tapi ternyata orang yang ingin ditemui justru keluar kota, lengkap sudah. Lalu harus kemanakah saya hari ini? jam 3 sudah ada janji untuk mengantar seseorang dan pulang pun akan memakan waktu dan tenaga. Ya sudahlah saya jalan-jalan dulu.

Dari arah Sampangan dimana saya berada, lalu saya jalankan si Merah menuju arah Banjir Kanal Timur Semarang, yang katanya sedang ada Festival Banjir Kanal, berharap ada sesuatu yang menarik untuk killing time. Namun sepertinya acara belum ada yang menarik perhatian saya, karena hanya panggung yang tidak ada artisnya dan beberapa stand yang menyajikan produk-produk unggulan Kota Semarang. Jadi saya hanya lewati saja Banjir Kanal Timur ini, lalu melanjutkan perjalanan saya menuju daerah Stasiun Poncol dan seketika muncul sebuah situs yang ingin saya kunjungi, salah satu masjid tertua di Semarang, namun saya lupa apa nama masjidnya. Hal yang saya ingat, masjid ini berada di Kampung Melayu di dekat Stasiun Poncol. Lalu muter-muterlah saya mengelilingi kampung melayu hanya dengan berbekal bayangan sebuah masjid yang sedikit kuno. Dan ketemulah sebuah masjid dengan sebuah menara yang terlihat tua di Jalan Layur. Masjid ini ternyata memiliki nama Masjid Layur namun masyarakat juga menyebutnya sebagai Masjid Menara, mungkin dikarenakan masjid ini memiliki sebuah menara yang terlihat berumur.

Masjid Layur di Jalan Layur
Masjid Layur terletak tepat di jalan Layur dengan warna dinding hijau muda dan sebuah menara yang menjulang tinggi sekitar 10 m. Saya dapat menduga Masjid ini sudah berumur dari menaranya, menara mesjid ini sudah ditumbuhi beberapa tumbuhan liar serta atap dari menara ini terbuat dari semacam kayu atau pun ijuk berwarna hitam yang sudah tidak pernah digunakan di jaman sekarang. Masjid ini juga dikelilingi beberapa bangunan yang sudah terlihat kuno. Memang berdasarkan cerita warga, kampung ini dulunya digunakan sebagai tempat singgah para saudagar dari Arab, Tionghoa, Melayu, dan Yaman, sehingga banyak ditemui bangunan-bangunan kuno.

Nampak Masjid dari Pintu Gerbang
Masjid Menara ini ternyata berdiri sejak abad 18. Masjid ini mulanya memiliki dua lantai, namun kondisi di pesisir Semarang yang mengalami penurunan tanah secara terus menerus menyebabkan daerah ini sering terendam rob (air pasang) sehingga Masjid Menara yang sekarang adalah lantai atas dari bangunan awal masjid. Sangat disanyangkan ketika sudatu cagar budaya terancam keberadaanya. Namun sepertinya peran serta masyarakat serta stakeholder sekitar masjid sangat besar, terbukti dari terawatnya masjid ini sehingga terlihat sangat bersih tidak nampak bekas pemugaran atau pun bekar air rob.

Bangunan Utama Masjid Menara
Ukuran bangunan utama masjid ini tergolong kecil, hanya sekitar 5x7 m. Bangunan ini memiliki pintu dan jendela yang terbuat dari kayu dengan gaya arsitektur khas Jawa kuno yang dicat hijau muda. Dinding dilapisi dengan keramik yang bermotif batu berwarna coklat kemerahan. Bagian dalam masjid ini terdapat empat tiang penyangga dan cat dinding berwarna putih dengan cat bagian atap berwarna hijau. Hijau nampaknya tema dari bangunan Masjid Menara ini.

Nampak Dalam Bagian Masjid Menara
Masjid ini memeliki suasana yang sangat nyaman, adem, dan tenang. Sangat pas bagi teman-teman yang ingin mencari ketengan di tengah hiru pikuk panasnya Kota Semarang. Apabila teman-teman ingin mengunjungi Masjid ini, teman bisa mengambil jalan dari Stasiun Poncol menuju ke arah Stasiun tawang, Perempatan Lampu Merah, teman-teman ambil ke arah kiri, lurus terus lalu menyebrang rel kreta api, lalu setelah itu ambil Jalan Layur dan anda susuri jalan ini dan teman-teman akan menemukan Masjid ini. Selamat beribadah sambil berwisata.

Prasasti Keputusan Walikota Nomor 35

orang numpang ngadem

MUSEUM KERETA API - Kamis, 19 Mei 2016

Waktu masih menunjukkan pukul 13.15 dan masih enggan untuk merapat ke peraduan. Merah pun aku gas kembali ke arah Ambarawa. Museum Kereta Api lah tujuanku selanjutnya. Ide ini datang begitu saja ketika melihat rel kereta api yang ada di jalan yang aku lewati tadi.


Museum Kereta Api berada di dekat Monumen Palagan Ambarawa, hanya sekitar 1 km. Apabila dari arah Semarang masuk ke Arah Ambarawa kota hingga Palagan Ambarawa, lalu ambillah arah ke Kiri (Arah Banyubiru). Berada persis di jalan utama sehingga mudah untuk diketahui.Untuk memasuki Museum Kereta Api, teman-teman hanya perlu membayar Rp. 10.000 untuk dewasa dan Rp. 5.000 untuk anak kecil di bawah 5 tahun. Parkir Sepeda motor Rp.2.000, entah per jam atau pun selama parkir saya lupa konfirmasi (ehehehe).

keluar dari Loket tiket, teman-teman akan langsung disambut lorong khas sebuah stasiun yang panjang dan bejejer tiang-tiang kayu, pas lah buat para hobi selpi. Setelah itu, berjejer banyak lokomotif  dengan jenis yang berbeda-beda yang sudah pensiun di sebelah lorong. Ada juga tembok yang ditempeli berbagai informasi mengenai dunia perkeretaapian di Indonesia. keluar dari Lorong anda akan disapa oleh papan penunjuk jalan yang modern seperti papan penunjuk jalan yang ada di stasiun saat ini.

Dinding Informasi Perkertaapian Indonesia


Barisan Lokomotif berjajar di sisi lorong

Di ujung lorong terdapat sebuah mushola yang cukup luas dan di samping kanan mushola ada ruangan untuk menyimpan alat-alat perkeretaapian sepeti mesin ketik, lampu kereta, topi masinis, dan telepon. Semua ruangan ini selalu terbuka dan pengunjung bebas untuk keluar masuk ke ruangan ini. Tidak jauh dari ruangan ini, ada beberapa pohon kelengkeng yang rindang dengan beberapa bangku dari kayu bekas bantalan Rel kereta, cocok untuk beristirahat dan terlihat sangat antik.

mari rehat sejenak

Ada juga bangunan yang terlihat kuno dan terdapat tulisan "TEKARAN", entah fungsinya apa, namun sepertinya digunakan sebagai gudang perlengkapan kereta pada jaman dulu. Di belakang bangunan kuno tadi juga terdapat lokomotif yang sepertinya masih bisa digunakan dan beberapa alat sperti "crane". Ya memang tidak adanya Guide yang standby mendampingi wisatawan dalam menjelaskan informasi terkait objek di museum membuat pengunjung kurang bisa mendapatkan informasi secara maksimal, walau pun ada beberapa objek yang dilengkapi papan informasi namun keberadaan Guide akan sangat membantu.

Bangunan lawas entah untuk apa

bangkai kereta di belakang gudang tua
Tidak jauh dari lokasi ini, ke arah timur, ada bangunan yang masih digunakan sebagai stasiun wisata yang masih aktif melayani penumpang kereta wisata. Kereta wisata aktif hanya pada hari minggu, namun sepertinya dapat melakukan reservasi, karena ketika saya datang pun ada serombongan anak SD dari Bogor yang baru turun dari Kereta Wisata. Pada hari minggu, pengunjung dapat naik kereta wisata dengan membayar Rp.50.000 per orang. Pengunjung akan diajak menyusuri jalur kereta hingga Stasiun Tuntang atau sekitar 5 km dari Museum Kereta Api. Di dekat Stasiun berjejer pula gerbong-gerbong yang masih terawat dengan baik dan dapat dimasuki pengunjung sesuka hati.

Peron stasiun kereta wisata


Bangunan Loket Demak

Nampak dalam gerbong kereta

numpang ngaso
Capek berkeliling akhirnya memutuskan untuk tidur sejenak di lokomotif dan terbangun ketika ada keluarga yang menghampiri gerbong. Setengah jam ternyata sudah berlalu, (wkwkwkwk..), entah apa yang orang pikirkan tentang seorang pemuda yang tidur di lokomotif kereta, gelandangankah, pemulungkah, pengemiskah, tapi bukan, aku hanyalah seorang Bencoleng.. hahaha
BUKIT CINTA - 19 Mei 2016

Kamis, ya benar hari ini adalah hari kamis. Lalu kenapa? ya tidak kenapa-kenapa, bingung mencari kalimat untuk membuka postingan kali ini. Tidak ada yang sepesial hari ini, jadi saya ingin membuatnya menjadi lebih spesial buat saya sendiri. Mengendarai si "merah" ke jalanan yang sudah umum saya lalui ketika pulang menuju kampung halaman. Ada beberapa lokasi yang belum pernah saya hampiri sebelumnya, Bukit Cinta salah satunya.

Gerbang Masuk Bukit Cinta
Bukit Cinta yang berada di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang ini merupakan bukit yang terletak di pinggir Danau Rawa Pening. Untuk mencapai Bukit Cinta, teman-teman bisa melalui jalan lingkar Ambarawa lalu ambil arah Banyubiru. Ketika sampai di Banyubiru, ambil arah ke Salatiga dan anda akan menemukannya di pinggir kiri jalan dengan Gerbang yang cukup megah.

Bukit Cinta awalnya merupakan bukit biasa namun sering digunakan banyak orang berpacaran karena memiliki pemandangan yang indah. Dari bukit ini kita bisa melihat langsung Danau Rawa Pening yang melegenda. Karena seringnya orang yang berkunjung, akhirnya warga berinisiatif untuk mengembangkan lokasi ini menjadi objek wisata hingga menjadi bagus seperti sekarang ini. Nama Bukit Cinta diambil karena tempat ini sering digunakan orang untuk berpacaran. Untuk memasuki lokasi ini, teman-teman perlu membayar tiket masuk Rp.6000,  parkir sebesar Rp.1000 untuk motor dan Rp.2000 untuk mobil.

Loket Pembelian tiket masuk

Bukit cinta menawarkan lokasi yang nyaman untuk berwisata. Kesan pertama kali saya memasuki lokasi ini adalah BERSIH. Obyek wisata ini benar-benar dirumat dengan baik oleh pengelola, hampir tidak ada sampah yang menumpuk atau pun tercecer di lokasi. Bukit cinta dipenuhi oleh pepohonan yang membuat suasana menjadi lebih adem. Pengunjung pun akan dimanjakan dengan banyaknya tempat duduk untuk beristirahat sambil bercengkrama dengan teman atau pun pacar. Apabila teman-teman memiliki kegiatan yang membutuhkan tempat besar, di Bukit cinta terdapat aula besar yang dapat digunakan untuk berkumpul.

suasana adem di bukit cinta

Selain bisa menghabiskan waktu dengan duduk dan bersantai ria, teman-teman juga bisa menyewa perahu untuk berkeliling sekitar Danau Rawa Pening. Satu kapal dapat disewa dengan harga Rp.60.000. Kapal ini dapat diisi maksimal 6 orang, jadi kalo diisi maksimal, satu orang hanya membayar Rp.10.000. Pengunjung akan dibawa berkeliling ke  Danau Rawa Pening selama setengah jam perjalanan. Tidak usah khawatir bagi anda yang tidak bisa berenang, karena sudah disediakan pelampung sebagai alat pengaman.

Kapal bagi para pengunjung yang ingin berkeliling Rawa Pening
Bagi para pengunjung yang ingin membeli oleh-oleh dapat membelinya di toko yang ada depan gerbang. Beberapa oleh-oleh yang dijajakan adalah oleh-oleh khas Rawa Pening seperti kripik belut, kripik wader, dan kerajinan dari tanaman eceng gondok.

Aula di tengah Bukit Cinta
ini kepala pening, bukan rawa pening, haha

SAM POO KONG

Jum'at, 13 Mei 2016

Pagi-pagi sekitar pukul 7.30 suara hape bergetar, brrrr brrr brrrrr.. saya kira sms dari operator karena sudah lama tidak mendapatkan pesan selain dari operator (#curnyol=curhatan konyol). Namun kali ini teman saya dari Kakak Kedua dari klan Annindita yang mengirim pesan tersebut yang sepertinya dalam keadaan sumpeg bekerja. Bagai alu bersambut, karena juga sedang bosan bosannya akhirnya kami sepakat untuk "berziarah" ke situs Sam Poo Kong, Semarang. Bosan juga si, karena minggu kemarin pun sudah ke tempat ini, namun tak apa lah, beda orang beda juga pengalamannya.

Sam Poo Kong merupakan salah satu objek wisata religi bagi Masyarakat Tionghoa di Semarang karena digunakan sebagai tempat beribadah. Namun selain digunakan sebagai tempat wisata, Sam Poo Kong juga ramai dikunjungi orang untuk berforo ria karena memiliki suasana dan pemandangan yang cukup menarik. Seperti bangunan peribadaatan Masyarakat Tionghoa lainnya, Sam Poo Kong didominasi warna merah dan emas pada setiap dinding dan tiang bangunannya. Selain digunakan tempat peribadatan Masyarakat Tionghoa, ternyata Sam Poo Kong merupakan tempat mendaratnya dan bersinggahnya Laksamana Tiongkok yang beragama Islam bernama Zhen He / Cheng Ho. Jadi tempat ini dapat menjadi gambaran betapa beragamnya Islam.

Close Up Patung Laksamana Cheng Ho

Awal memasuki pintu masuk, pengunjung harus membayar tiket masuk seberar Rp 5000 untuk orang dewasa dan Rp.3000 untuk anak anak. Karena kami berdua sudah dewasa, kami harus membayar sejumlah Rp.11.000 untuk masuk, yang seribu rupiah ternyata untuk parkir motor. Ya, tempat ini tidak ada pungutan parkir liar sehingga harga parkir pun sesuai standard. Memasuki Kompleks Sam Poo Kong akan disambut rimbun pohon dengan barisan barisan kursi dibawahnya. Sangat silir duduk di sini pada siang yang terik, seperti hari ini. Sembari duduk menikmati sejuknya angin di tengah panasnya Kota Semarang, senjata bagi para wisatawan pun disiapkan, kamera. Bermodal kamera pinjaman teman saya, Jamal, mencoba untuk mengabadikan momen dan mencari momen-momen menarik yang dapat menjadi objek yang menarik.

Spot di depan Area Peribadatan

Selesai beristirahat mulailah perjalan mengelilingi penjuru Sam Poo Kong ini. Dan Bangunan Merah besar diseberang kolam ikan yang menyerupai sungai menarik perhatian kami. Bangunan ini ternyata tempat peribadatan, dan apabila ingin masuk harus ada biaya tambahan sebesar Rp.20.000 tiap kepala. Apabila ingin berfoto menggunakan kostum ala Bangsa Tionghoa juga ada jasa penyewaan kostum, tapi sayang lupa bertanya berapa tarif sewanya. Di Kompleks peribatatan ini ada dua tiga bangunan utama disini yang semuanya digunakan untuk tempat beribadat. Di belakang bangunan utama yang paling besar, terdapat cerita awal mula Laksamana Cheng Ho mendarat di sini. Di Bangunan yang paling besar ini jugalah ada sebuah Ruang Bawah tanah yang digunakan untuk bersembahyang, karena tidak bersembahyang kami tidak bisa memasukinya. Banyak spot menarik untuk berselfie ria di area ini.

Tempat Peribadatan

Keluar dari area peribadatan, perjalanan berlanjut ke Gerbang dan Patung Raksasa. Ya, benda berukuran besar ini berada di sisi selatan kompleks Sam Poo Kong. Patung Laksamana Cheng Ho berukuran hampir 10 m berdiri gagah di depan Gerbang besar yang juga berukuran sekitar 10 m. Spot ini juga menjadi background bagi para pemburu foto exist. Pindah ke arah timur dari patung, ada sebuah bangunan megah yang sepertinya digunakan sebagai aula atau pun panggung untuk sebuah pertunjukkan. Bangunan ini dipenuhi banyak tiang berwarna merah dan di depannya ada lahan yang luas yang hampir selapangan futsal.

Si Kakak Kedua dari Klan Annindita

Selesai berkeliling, haus pun mulai terasa. Bagi yang merasa lapar, haus, dan ingin membeli souvenir, ada gerai khusus yang menjualnya. Gerai yang berada di dekat pintu masuk ini menjual minuman, makanan, dan berbagai macam souvenir yang bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh. Harganya lumayanlah, namanya juga tempat wisata.

Sayangnya masih ada beberapa oknum yang meninggalkan sampah mereka di tempat yang tidak seharusnya. Namun sepertinya pengelola sangat menjaga kebersihan tempat ini karena tempat ini sangat bersih walaupun ada oknum pembuang sampah sembarangan.

Perjalanan kali ini berakhir di Bakmi Djowo Doel Noemani yang berada di depan Paragon Mall. Dari kata Toeman (Ejaan lama dari Tuman) yang berarti ketagihan memang pantas disematkan di rumah makan yang menjual berbagai macam mie dan nasi goreng ini. Rasanya yang enak tidak berubah dari awal saya di Semarang, sekitar 5 tahun lalu, hingga sekarang.


Perjalanan panjang pun masih harus berlanjut. Bertemunya saya dengan Paphiopedillum javanicum membuat saya semakin optimis akan menemukan berbagai jenis anggrek lainnya. Dan ternyata lagi-lagi keoptimisan saya pun terbukti, banyak sekali anggrek dari Genus Malaxis yang tumbuh, namun sepertinya bulan ini merupakan masa akhir perbungaan Genus ini karena sudah menguncup menjadi Seed Pod. Anggrek lain pun ternyata mulai mengintip dari balik semak-semak. Warna bunganya yang hijau tersamarkan oleh warna daun semak. Hebenaria multipartita adalah anggrek yang saya temui selanjutnya. Anggrek  ini memiliki labellum yang "semrawut", ya  begitulah saya menggambarkan labelum seperti laba-laba itu. Ukuran bunganya cukup besar, antara 3-5 cm dengan bunga berwarna dominan hijau kekuningan. Anggrek ini ternyata sudah saya temui dari awal perbatasan hutan dan perkebunan hingga ketinggan 3000 mdpl.

Hebenaria multipartita

Perjalanan yang panjang dan selalu menanjak benar-benar menguras tenaga apalagi bagi saya yang sudah jarang berolahraga. Hingga pukul 11 siang harus tetap berjalan dan akhirnya sampai di Camp Pestan pukul 12 siang. Beristirahat sejenak sembari melihat pemandangan yang tidak setiap hari bisa ditemui sungguh sangat menyenangkan. Udara yang sejuk nan bersih serasa sangat melegakkan.
Setelah beristirahat, mulailah memasang doom untuk mengistirahatkan badan malam nanti.

Sore pun tiba, sembari menunggu matahari pulang ke peraduannya, perburuan pun dimulai kembali. Penasaran dengan sesosok "gadis" yang menyapa di pinggir jalan tadi membuat saya kembali untuk berkenalan lebih dekat. "gadis" mungil ini memiliki ukuran yang suaaangaaat kecil hingga tidak bisa tertangkap "kamera biasa". Memutar otak akhirnya saya buat kamera yang biasa menjadi luar biasa dengan membalikkan lensa yang ada. Tentu bagi orang di dunia perkameraan sudah mengetahui trik ini. Dengan membalik lensa, makan kita akan mendapatkan lensa makro yang sangat murah dan sangat pas untuk melihat object yang berukuran kecil.

undidentified 1
Selain menemukan si mungil, saya juga menemukans jenis anggrek Jawa lainnya. Thelymitra javanica tak mau kalah memamerkan kemolekkan bunganya. Pink keungunan merupakan warna bunga yang cantik satu ini. Jenis ini memiliki  Ukuran bunga sedang antara 2-3 cm. Bunga ini mulai sering nampak di ketinggan 3000 mdpl.

Matahari pun mulai bersiap untuk meninggalkan siang dan meninggalkan keindahan yang teramat indah. Tenggelam di sebalik Gunung Sindoro membuat pemandangan Sindoro yang sangat cantik. Tiada henti-hentinya mengucap syukur masih memiliki kesempatan untuk melihat pemandangan ini.

Sindoro di Sore Hari

 


Uhuuukcukk !! Uhuuucukk!!

Tidak enak rasanya malam ini menulis dengan kondisi batuk terus menerus. Mungkin batuk ini merupakan penyakit turunan dari keluarga saya, karena buyut, eyang, dan saya memiliki penyakit yang sama. Tapi tidak apa lah, sembari menunggu malam berakhir akan ku tulis beberapa kisah tentang perjalanan seorang Bencoleng.

Jumat, 2 Mei 2014.
Tidak seperti biasanya saya mengikuti kegiatan pendakian masal yang diadakan Organisasi Pecinta Alam (OPA). Namun, kali ini pendakian masal diadakan oleh Lekmapala Fakultas Teknik UNNES yang notabene banyak orang-orang yang sudah saya kenal sehingga saya tertarik untuk mengikutinya. Gunung yang akan didaki adalah Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Bukan merupakan gunung tertinggi namun memiliki tinggat kesulitan track yang paling tinggi di Jawa Tengah. Pendakian kali ini mengambil jalur Garung, Kabupaten Wonosobo.

Tiba di basecamp Garung sekitar pukul 6 malam, para peserta pendakian langsung disuguhi teh yang telah disiapkan oleh panitia dan disusul dengan makan malam. Malam ini peserta akan menginap di basecamp terlebih dahulu dan akan melakukan pendakian pada besok hari. Menghabiskan malam dengan tidur ketika sedang berada di basecamp pendakian adalah hal yang "haram" dilakukan, karena pada malam harilah seharusnya peserta saling bercengkrama satu sama lainnnya. Berbekal kartu remi, saya beserta 4 peserta lainnya menghabiskan malam dengan bermain poker dan remi. Cara ini merupakan salah satu cara mengakrabkan satu sama lain bagi orang yang masih asing satu sama lain. Apabila mengikuti rasa senang berkumpul dengan kawan baru, mungkin permainan ini tidak akan selesai hingga pagi hari, namun hal ini tidaklah bisa saya lakukan karena saya sadar bahwa pagi harinya akan membutuhkan tenaga dan kondisi fisik yang bagus untuk melakukan perjalanan. Sekitar pukul satu pagi semua peserta sudah mulai beradu dengan matras dan selimut masing-masing.

Pukul 4 pagi peserta sudah mulai berbenah untuk melakukan perjalannya. Hari ini dimulai dengan beribadah dan sedikit melakukan peregangan otot. Sekitar pukul 5 pagi, pendakian Gunung Sumbing dimulai. Perjalanan dimulai dengan menyusuri jalan pedesaan yang tersusun dari susunan bebatuan. Jalan ini sangat khas di daerah dataran tinggi di Wonosobo. Lepas dari pedesaan, peserta disambut dengan perkebunan yang membentang luas sepanjang mata memandang. Tembakau, kubis, sawi, dan kentang merupakan tanaman yang menyambut kami di sisi dan kanan jalan setapak. Wonosobo memang terkenal sebagai gudang tembakau dan berbagai jenis macam sayuran. Diberkahi tanah yang subur, rupanya masyarakat lereng Gunung Sumbing bisa memanfaatkannya dengan sangat baik, terbukti dari suburnya tanaman yang ditanam. Setelah melewati perkebunan, sampailah di wono atau hutan, tidak sepenuhnya hutan, karena sudah jarang dijumpai pepohonan tinggi di sepanjang jalur pendakian.

this is the hunting time!! 
tidak pernah dalam benakku memiliki niat "menaklukan" gunung ketika mendaki gunung, karena terlalu sombong manusia untuk berpikir bisa menaklukkan alam. Niat terbesarku ketika melakukan perjalanan ini adalah "memburu" anggrek yang ada di Gunung Sumbing. Bukan memburu dalam arti sebenarnya, karena perburuan kali ini hanya akan mengambil foto, tanpa mengambil atau pun merusaknya. Kenapa anggrek? karena mereka cantik, dan laki-laki suka sesuatu yang cantik. simpel kan? haha... Perburuan utama anggrek kali ini adalah Corybas si kerdil, karena sangat penasaran untuk bisa berkenalan dengannya.

Perjalanan pun menjadi perjalanan "dzikir" karena selama perjalanan kepala saya tidak berhenti menengok kanan kiri sisi jalur untuk mencari si cantik yang liar. Karena hal ini pun, sempat saya terpeleset hingga jatuh duduk. Namun ternyata, Tuhan sedang melakukan kekuasaanya, tepat didepan saya terjatuh ada si nona asli jawa, Anggrek Kantong atau Paphiopedilum javanicum. Namun ternyata si nona masih tersipu malu untuk berkenalan lebih jauh dengan saya karena anggrek ini masih kuncup dan mungkin akan mekar sempurna satu hingga dua minggu lagi. lalluuu pergumulan antar dua insan dari beda dunia pun terjadi,, ceepreet, cepreeet ceeepreeet,, dan ceeepreeeet... ku lumat si nona dengan kamera bulukku yang masih bisa diandalkan, nikon D3000. Sedikit deskripsi, secara sepintas anggrek ini menyerupai tanaman Lidah mertua dengan daun yang tebal, berwarna hijau loreng-loreng dan yang mencuat dari dalam tanah. Tangkai bunga keluar dari tengah-tengah pangkal daun dengan panjang tangkai daun mencapai 20-30cm. Ketika bunga ini mekar, akan ada bagian dari bunga ini yang menyerupai kantong, sehingga disebut Anggrek Kantong. Jenis ini merupakan endemik Jawa.

Setelah selesai menggumulinya, saya meninggalkan si nona tanpa tersentuh dan tidak lupa memanjatkan doa agar nona terlepas dari mata pemburu anggrek sebernarnya, karena posisinya sangat rawan sekali untuk dapat diculik oleh tangan-tangan tidak bertanggungjawab.

Paphiopedillum javanicum